Kerinci; Politik Untuk Kemanusiaan Otentik

KERINCI; Politik Untuk Kemanusiaan Otentik
Oleh :Indra Mustika, S.Sy

Tahun politik 2018 semakin semarak,  disambut dengan gegap gempita, dengan segala inggar-binggar telah menguras energi kita baik dalam berwacana maupun dalam berkerja nyata, tahun ini adalan tahun yang menentukan pemimpin rakyat dalam pesta demokrsi, ada 171 pemilihan kepada daerah seluruh Indonesia dilansungkan secara seksama, artinya sebuah lalulintas hidup berbangsa menjadi semakin sibuk dengan segala aktifitas menentukan pemimpin Kepala Daerah untuk lima tahun kedepan, semoga pilkada berintegritas dan bermartabat?.

Dalam proses ini harus menjadi “permusyawaratan rakyat yang dipimpin oleh hikmah”, semua unsur yang terlibat harus menangkap spirit ini dengan hati-hati dan teliti hingga mendapat esensi serta wajib diikuti. Kemudian Kandidat harus bisa menciptakan suasana sejuk, damai tak boleh ada busur ujaran kebencian ditebarkan, propokasi masyarakat dengan isu SARA, ini merupakan Politisi sumbu pendek jika terjadi, jangan dipertontonkan teater drama yang begitu menarik diperlihatkan, blusukan ditengah pasar dengan sengaja berpoto dengan jual beli sayur, ikan, ayam dan alat perkakas rumah, seolah orang yang lemah diperalat untuk menjulang suara rakyat padahal hanya modal poto “seolah-olah” peduli.

Pilkada di Kerinci masih menyuarak isu sukuisme, padahal ini sangat riskan perbelahan dan perseteruan ditengah masyarakat, kita lihat ada yang mengkampanyekan Kerinci Hilir bersatu, ada yang menyalahkan kepemimpinan Adirozal sebagai Bupati kerinci dengan segala cara membokar kesalahan 5 Tahun kepemimpinannya akhir kerinci mudik harus dikalahkan, kemudian sentimensi daerah Tokoh Kerinci hilir dan kerinci mudik atau sebaliknya, dan itu bisa kita lihat fenomena masyarakat media social yang sudah begitu sibuk dengan perdebatan, dukung-mendukung hingga yang paling jelek caci maki dan segala bentuk yang bisa merusak persatuan,  itu akan terniscaya berdampak pada dunia nyata.

Politik adalah salah satu tiang demokrasi, alangkah meruginya kita jika proses politik PILKADA ini hanya menyisakan perseteruan dan kekesalan, seyogya demokrasi menjadi alat persatuan dalam irisan keberagaman hayati, jauh dari isu anti ke anti, menciptakan konflik horizontal, hingga menghabat laju perekonomian rakyat. Prosesi perpolitikan harus beroreantasi pada kemanusiaan, memangkas segala perusak jalur kemanusiaan, apalagi sengaja meretakan kaca persatuan hingga membentuk serpihan yang sulit disatukan, jika bersatupun akan sulit seperti semula dia akan berbekas.

Gelombang politik baru harus diikhtiarkan  baik generasi tua dan lebih utama generasi muda, politik gaya baru adalah yang memiliki nafas panjang dalam sebuah peradaban dan kemanusiaan, berjiwa, berpikiran tajam jauh kedepan dan menjulang, tak membebek, mengekor, maupun menghamba kepada manusia apalagi kekuasaan sementara. Kita merasa yakin masih banyak generasi zaman Now yang punya idealisme keberpihakan pada kaum tertindas lagi lemah, serta membumi hanguskan “nafsu” pragamatisme buta dan meterialisme akut yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berdemokrasi, ibarat kanker sudah menjalar keseluruh tubuh, politik uang masih merajalela bahkan ini terus menjamur sampai ke unit-unit terkecil masyarakat Indonesia jika ini tidak kita hentikan.

Pemuda harus merekonstruksi budaya politik, dengan menyatukan kekuatan seperti molekul-molekul air hingga membentuk sebuah gelombang besar untuk menghantam arus pragmatisme, materialisme, sekulerisme dan liberalisme ekonomi kapital yang selama ini telah merusak tatanan social kemanusiaan dan perekonomian, yang muda menyatu dalam lintas agama, suku, ras, ormas dan segala bentuk keberagaman yang ada . Ekonomi kapitalisme salah satu contoh yang masih kita persaksikan, sekarang semakin menciptakan jurang kemiskinan yang dalam dan ketimpangan social yang serius dan krusial. Kaum muda harus ambil posisi bukan berarti mengkensamping generasi tua yang masih punya kejujuran dan berintegritas tinggi, semua menyatu dalam satu visi kemanusiaan otentik, hanif, jujur dan tulus.

Pada akhirnya kita semua berharap proses perpolitikan dalam “perebutan” tampuk pelayan masyakarat no 1 berjalan sehat, adil, damai, sejuk, teduh, dan bermatabat, Amiin.

Selamat berdemokrasi dalam bingkai kemanusiaan dan keindonesiaan otentik!