Oleh: Oga Gandradika Oktavora, SE
Masyarakat kembali bersiap menghadapi gelaran pilkada serentak 2020. Sesuatu yang membuat kita semua diliputi kekhawatiran dan rasa waswas karena Pilkada serentak tahun 2020 ini ditengah pandemi Covid-19. Namun, keputusan (politik dan hukum) telah diambil dan semua pihak harus menanggung risiko. Tentu dengan mengoptimalkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan penularan Covid-19.
Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi kemudian membuat perhelatan tersebut bertambah jenis kerawanannya. Tidak hanya rawan dari hal lain selain tahapan pemilu (nonelektoral) karena faktor wabah, tetapi juga secara teknis dan politis. Ini bisa dilihat dari temuan indeks kerawanan pemilihan (IKP) yang dipublikasikan pada Februari dan update IKP setelah wabah yang dirilis Juni 2020. Pada IKP yang dirilis di awal tahapan pilkada, dua isu yang cukup menonjol dalam menyumbang kerawanan pilkada adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan politik uang (money politics). Daerah dengan indeks kerawanan tertinggi di Indonesia yaitu Kota Sungai Penuh yang juga akan melaksanakan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota pada tanggal 9 Desember nanti.
Rilis terbaru yang dikutip dari laman Bawaslu pada tanggal 6 Desember lalu, Kota Sungai Penuh menempati posisi kedua setelah Manokwari.
Pilwako Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh yang memiliki 68.097 mata pilih ini mendapat predikat daerah yang rawan dalam ajang Pilkada dengan indikator netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan juga Politik uang (Money Politik).
Pilkada di Sungai Penuh diikuti oleh 2 pasang Calon, yaitu Ahmadi Zubir-Alvia Santoni dan Fikar Azami-Yos Adrino.
Pasangan nomor urut 1 Ahmadi Zubir-Alvia Santoni diusung oleh 3 Partai Politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Beringin Karya (BERKARYA). Pasangan ini berlatar belakang Akademisi, Ahmadi adalah Ketua Perguruan Tinggi, Alvia Santoni sendiri juga merupakan Ketua Perguruan tinggi di Sungai Penuh.
Pasangan nomor urut 2 Fikar Azami-Yos Adrino berlatar belakang Politisi, Fikar adalah Ketua DPC Partai Demokrat Sungai Penuh yang juga anak kandung dari Walikota Sungai Penuh yang sekarang masih menjabat, Asafri Jaya Bakri (AJB). Sdangkan Yos Adrino adalah Pengurus DPD Partai Amanat Nasional Provinsi Jambi.
Setidaknya ada enam indikator dalam IKP 2020 yang merekam praktik politik uang. Keenamnya adalah (dimensi sosial politik) pemberian uang/jasa ke pemilih untuk memilih calon tertentu saat masa kampanye, pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada masa tenang, pemberian uang/barang/jasa ke pemilih untuk memilih calon pada saat pemungutan suara, (dimensi kontestasi) politik uang kepada pemilih untuk memilih calon tertentu, mahar politik, dan politik uang kepada tokoh untuk memilih calon tertentu.
Meski hanya menangkap gejala (indikasi) di permukaan, temuan IKP 2020 tersebut memperkuat temuan para ilmuwan politik seperti Hicken (2007), Sumarto (2009), Aspinal dan Sukmajati (2014), Muhtadi (2018), serta Aspinal dan Berenscot (2019) mengenai praktik politik uang. Kerentanan masyarakat terhadap politik uang makin parah karena dampak Covid-19 yang menimbulkan krisis ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja, lesunya aktivitas usaha masyarakat, dan terhentinya operasi banyak pabrik yang mengakibatkan pengangguran. Tekanan ekonomi itu menjadi sangat potensial bagi terjadinya praktik politik uang, meminjam istilah Muhtadi (2018) bahwa di situ ada supply dan demand. Atau adanya pertukaran (vote buying) karena manfaat timbal balik antara pemilih dan calon (Aspinal dan Berenscot, 2019).
Gejala itu misalnya tampak dalam beberapa laporan media dan juga terekam dalam temuan Bawaslu mengenai politisasi bantuan sosial yang terjadi dalam periode kedaruratan Covid-19 di sejumlah daerah. Situasi wabah ini, biasanya potensial dijadikan oleh pasangan calon, khususnya para petahana (incumbent).
Aspek Hukum
Jika mencermati statistik putusan pengadilan terhadap praktik politik uang dalam dua event pemilihan, yaitu pilkada 2018 dan Pemilu 2019, terjadi peningkatan dari 22 kasus pada pilkada 2018 menjadi 82 kasus pada Pemilu 2019. Tentu peningkatan statistik putusan pengadilan bagi praktik politik uang menjadi hal yang positif. Dan pasti membuat harapan publik jadi tinggi terhadap hal yang sama pada tahun ini.
Tetapi, perlu juga dipahami, antara rezim pemilu dan pilkada memiliki konsep-konsep, norma, dan pengaturan yang berbeda sehingga dalam penerapannya juga berbeda. Meski demikian, terdapat hal-hal yang misalnya dalam rezim pilkada mengatur lebih tegas. Itu bisa dilihat dari unsur pelaku politik uang yang dalam pasal 187A UU Pilkada menyebut setiap orang. Sedangkan dalam UU 7/2017, politik uang dibagi ke dalam sub tahapan, yaitu di masa kampanye unsurnya pelaksana kampanye, di masa tenang adalah tim dan pelaksana kampanye, dan di hari pemungutan suara adalah setiap orang.
Upaya tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil, perguruan tinggi, tokoh agama, dan partai politik untuk membangun pilkada berintegritas. Sejumlah inisiatif kerja sama juga harus dibangun bersama KPK, Komnas HAM, KASN, KPI, Pers, Kemenkominfo, dan lembaga-lembaga lainnya.
Artinya, harus kesadaran publik terkait upaya melawan politik uang sebagai kejahatan dalam pemilu/pilkada. Hal lain yang harus dilakukan adalah dengan gairah patroli pengawasan yang dilakukan di seluruh daerah pada hari tenang. Meski belum menjawab keseluruhan masalah politik uang, usaha bersama melawan praktik politik uang harus kita kuatkan. Pengawasan atas potensi praktik politik uang dalam tahapan pilkada tentu menjadi objek yang diawasi khusus. Sebab, kejahatan politik uang mempunyai daya ledak yang sangat tinggi dan merusak kemurnian demokrasi.
Tentu situasi tersebut jadi tantangan bagi kita semua dalam melakukan upaya optimal, terutam di Kota Sungai Penuh ini baik dari sisi pencegahan, pengawasan, maupun penindakan.
Kalau kita semua menginginkan Pemilu yang berintegritas, katakan tidak untuk Politik Uang (Money Politik).
*Penulis adalah wartawan