SOLUSI TERINTEGRASI DALAM UPAYA MENJINAKKAN
BANJIR
KERINCI-SUNGAI PENUH
Hari-hari terakhir ini
masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh tidak
hanya disibukkan
dengan masalah Pandemi Covid-19 tetapi juga soal banjir yang
melanda daerahnya. Dalam kurun waktu lima bulan ini saja sudah terjadi tiga kali banjir besar.
Bumi
Kerinci sesungguhnya merupakan wilayah yang sangat subur, dikelilingi oleh barisan perbukitan dan pegunungan.
Curah hujannya tergolong tinggi mencapai 3.085,5 mm/tahun. Kerinci memiliki danau
terluas yang dinamai danau Kerinci. Masyarakat memanfaatkan danau tersebut
sebagai sumber air persawahan dan pertanian, ikan tangkap dan pembesaran ikan
serta sebagai lokasi objek wisata yang menakjubkan. Rawa-rawanya mereka jadikan
areal persawahan yang membentang luas dan menghijaukan kota Sungai Penuh. Alam Kerinci
merupakan surga bagi para petani.
Keindahan dan pesona alam Kerinci itu seringkali dinodai oleh
rajinnya banjir mendatangi daerah ini. Bahkan akhir-akhir ini banjir betambah
rajin menjenguk Kerinci. Tahun 80-an Kerinci hanya mengalami banjir sekali
dalam setahun, namun di tahun-tahun belakangan ini mengalami peningkatan
menjadi 3 kali dalam setahun.
Di Kabupaten Kerinci daerah yang paling rawan banjir terjadi
di Kecamatan
Gunung Kerinci, Air Hangat Timur dan Depati Tujuh, sedangkan di Kota Sungai
Penuh yaitu di Kecamatan Hamparan Rawang, Tanah Kampung, Koto Baru, Pesisir
Bukit, Sungai Penuh. Sebagai kawasan
resapan daerah aliran sungai (DAS), desa-desa yang tercakup rawan banjir
mencapai 244 desa. Demikian pula, sekitar 180.305 hektar lahan pertanian
dan pemukiman menjadi langganan banjir.
Hal
ini mengakibatkan rusaknya harta benda, kegagalan panen, ancaman gangguan
kesehatan, mendatangkan kerugian materi sungguh besar, bahkan mengancam hidup
dan mengembalikan masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh nyaris ke titik nol
setiap kali banjir datang.
Mau
sampai kapan kehidupan kita dihantui banjir? pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat harus bergerak bersinergi mengatasi banjir. Untuk itu, tulisan ini
mencoba membantu mengungkap penyebab sekaligus solusi mengatasi banjir di Kerinci
dan Sungai Penuh.
Penyebab Banjir Kerinci-Sungai Penuh
Banyak
pihak yang mengatakan banjir adalah bencana alam. Tapi Benarkah banjir di Kerinci
dan Sungai Penuh adalah bencana alam? Banjir seperti banyak bencana lainnya
belakangan ini tidak lagi sekadar fenomena alam yang biasa. Berbagai penelitian
dan kajian akhir-akhir ini menunjukkan, berbagai bencana tersebut semakin
merupakan hasil dari perbuatan manusia, yang tidak bersahabat dan tak sensitif
terhadap alam. Begitu pula dengan banjir yang terjadi di Kerinci dan Sungai
Penuh.
Sesungguhnya
Banjir Kerinci maupun Sungai Penuh adalah bukti sebuah kegagalan kolektif. Ia
adalah buah dari pohon yang kita tanam sendiri. Ia adalah konsekuensi tata
kelola kota dan gaya hidup kita yang abai pada lingkungan dan ini telah
berlangsung sejak lama.
Banjir
adalah bukti ketidakmampuan kolektif seluruh elemen (hampir tanpa kecuali)
dalam memelihara, mengelola, dan melakukan konservasi lingkungan. Kita tidak
perlu saling menyalahkan. Nyaris setiap kita, tanpa kecuali, punya sumbangan di
dalamnya.
Fenomena banjir merupakan fenomena yang sangat krusial
dalam proses pembangunan. Secara teoritikal, Fenomena banjir merupakan fenomena
saling terkait antara variabel sosial, alam dan lingkungan. Penyebab banjir
hampir selalu melibatkan alam dan manusia.
Sesungguhnya
kejadian banjir adalah hasil interaksi manusia dan alam yang keduanya saling
memengaruhi dan dipengaruhi (antropogenik). Ini relevan
dengan penyebab banjir di Kerinci dan Sungai Penuh. Setidaknya ada tiga
penyebab utama terjadinya banjir di Kerinci dan Sungai Penuh.
Pertama, banjir Kerinci dan Sungai Penuh disebabkan kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan
tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Jika kita perhatikan daerah hulu Kerinci
(kawasan hutan di kaki Gunung Raya, dan Kerinci
mudik) telah mengalami degradasi lingkungan karena rusaknya
hutan pada catchment area.
Rusaknya kawasan lindung itu akibat adanya illegal
logging, galian illegal, pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan oleh masyarakat desa maupun pendatang. Dengan pokok
pangkal yang sama, yaitu sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang
ditelurkan oleh lembaga-lembaga publik.
Bentang
alam kabupaten Kerinci terdiri dari pegunungan dan perbukitan pada bagian atas,
pemukiman masyarakat pada bagian tengah (lembah), dan danau pada bagian
terendah (pegunungan-pemukiman-danau). Maka jika hutan pada bagian atas rusak dan
curah hujan tinggi akan sangat berdampak terhadap daerah pemukiman, air hujan
yang turun tidak dapat ditampung oleh hutan menjadi air tanah.
Berkurangnya
tutupan hutan mengakibatkan hilangnya kemampuan Daerah Aliran Sungai (DAS)
menyerap air hujan (presipitasi) karena run
off atau aliran permukaan menjadi tinggi, sehingga terjadi pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan
sebagainya. Derasnya aliran permukaan tidak hanya akan mengakibatkan banjir
pada daerah resapan (Lembah Kerinci/Sungai Penuh) tetapi juga akan mengakibatkan
tanah longsor pada daerah pegunungan.
Kedua, berkurangnya
luasan daerah resapan perkotaaan. Persawahan
yang
terhampar mengelilingi Kota Sungai Penuh yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah
resapan, perlahan-lahan
telah berubah menjadi perumahan maupun pertokoan. Termasuk pula pembangunan jalan yang melintas daerah
rawa, sehingga air yang mengalir tidak selancar sebelumnya.
Berkurangnya
daerah resapan ini mengakibatkan air hujan akan lebih lama menggenangi
pemukiman karena air dari permukaan tanah
tersebut tidak dapat masuk ke dalam zona jenuh air sehingga tidak dapat
membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Hal ini tidak hanya menyebabkan
banjir di Kerinci dan Sungai Penuh, tapi juga memicu kekeringan dikala musim
kemarau, akibat berkurangnya cadangan air tanah yang amat dibutuhkan untuk keberlangsungan
kehidupan ekologi dan ekosistem (tidak hanya manusia).
Ketiga, adalah menyempitnya sungai-sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil.
Pesatnya pembangunan di Kerinci dan Sungai Penuh yang dilakukan tanpa
memperhatikan konservasi lingkungan mengakibatkan menjamurnya
permukiman di sepanjang sisi aliran sungai, bahkan menutup sungai dan
diperparah oleh drainase perkotaan yang buruk. Maka ketika musim penghujan tiba
dan mengalami debit puncak, sungai tidak lagi dapat mengikuti keseimbangan alam untuk
menampung aliran dari hulu, akibatnya air sungai
meluap menghantam pemukiman warga dan tidak dapat kembali ke sungai. Ada juga
tumpukan sampah yang tertahan di aliran sungai. Itu menjadi faktor yang memperparah
banjir.
Rekomendasi
Solusi Mengatasi Banjir
Uraian
penyebab banjir di atas memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya manusialah
penyebab hilangnya keseimbangan alam. Maka, solusi utamanya pun adalah dengan
mengatur dan mengelola manusianya.
Kerusakan
hutan di daerah hulu misalnya, jika kita telusuri lebih dalam penyebabnya
adalah pertumbuhan penduduk Kerinci yang begitu pesat, sehingga kebutuhan akan
lahan semakin meningkat. Pada dasarnya, merusak hutan bukanlah genetik orang
kerinci. Yang dibutuhkan adalah pengaturan spasial lahan-lahan yang boleh
diperuntukkan sebagai lahan pertanian dengan tetap mempertahankan fungsi
hutannya.
Solusi
lainnya adalah mempercayakan masyarakat mengelola lahan dengan mekanisme Hutan
Desa (HD). Cara ini terbukti berhasil dilakukan Kabupaten Bantaeng dalam
mengatasi kerusakan hutan di hulu.
Perlu diketahui
bahwa di masyarakat sendiri, ada aturan yang
tertulis (written rules) dan ada yang tidak tertulis (unwritten
rules) dan biasa aturan tidak tertulis cenderung lebih ditaati oleh
masyarakat. Sehingga Pemerintah juga mesti bersinergi dengan lembaga
informal (lembaga adat) dalam memproteksi hutan lindung. Memperbanyak penetapan
hutan adat adalah solusi lainnya, karena kebijakan kejelasan kepemilikan hutan
(property right) mendorong masyarakat
menjaga hutannya.
Kedua, mempertahankan luasan daerah
resapan bisa dilakukan dengan mencarikan lahan yang sesuai (kompensasi lahan)
di luar areal persawahan bagi pembangunan perumahan dan pertokoan baru.
Menerapkan regulasi agar tiap-tiap rumah yang dibangun meyediakan areal serapan
air, membuat lubang biopori dan sejenisnya. Memperbanyak taman-taman kota
sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
Ketiga, persoalan penyempitan badan
sungai bisa diatasi dengan renaturalisasi sungai, mengembalikan belokan-belokan
sungai yang sebelumnya terluruskan oleh bangunan-bangunan. Menghidupkan bekas
potongan sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan sungai, memelihara
kealamiahan sungai-sungai level menengah dan parit, serta melakukan penanaman
pada daerah hulu dan sepanjang aliran sungai. Metode ini menawarkan
penyelesaian alamiah yang komprehensif terintegrasi tanpa mengorbankan unsur
ekologi lainnya
Renaturalisasi
sungai ini memang tidak mudah, dibutuhkan kepiawaian pemerintah kabupaten
kerinci dan sungai penuh untuk membujuk dan meyakinkan warga yang telah
terlanjur mendirikan rumah di sisi kiri kanan sungai agar rela sedikit digusur.
Menumbuhkan kesadaran kota yang bebas banjir menjadi sebuah keniscayaan dan
mesti dilakukan sejak dini sebelum kota ini menjadi semakin padat.
Kemauan
Politik
Untuk
mewujudkan Kerinci yang bebas banjir dibutuhkan kemauan dan kesadaran politik
yang kuat, tidak hanya dari eksekutif tetapi juga legislatif. Euforia perilaku
mengedepankan kepentingan ekonomi, terutama kepentingan ekonomi individual,
telah menjerumuskan masyarakat yang harus selalu berhadapan dengan bencana alam
dan banjir.
Selayaknya
analisis dampak setiap rencana pembangunan dilakukan atas dasar untung rugi
nilai rupiah dan tangibilitas nilai lingkungan (benefit-loss analysis), termasuk analisis kondisi sosial-ekonomi
dan budaya masyarakat yang harus dibangun lebih baik. Dinamika pembangunan
harus dikawal ketat meski akan tampak tidak populer.
Banjir
di Kerinci dan Sungai Penuh, sekali lagi, adalah bukti kesalahan kolektif dalam
pengelolaan lingkungan. kita tidak perlu saling tuding siapa yang salah, kita
semua harus terlibat untuk mengatasinya. Tetapi, harus diakui bahwa tetap ada
porsi besar dan kemauan politik yang kuat yang harus diambil Pemerintah Kota
Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci secara terintegrasi untuk meyelesaikan
persoalan banjir yang membuat traumatis warga tersebut.
Belajar
dari Succes Story Daerah Lain
Selain
mengelola daerah hulu, mengatur pola pembangunan pemukiman dan sarana publik, dan
renaturalisasi sungai, tidak sedikit daerah yang punya cerita sukses mengatasi
banjir dengan program-program ambisiusnya. Kabupaten Bantaeng misalnya,
berhasil mengatasi banjir dengan membuat dam di hulu. Kota Curitiba di Barazil memakai
pola pembangunan “radial segaris-bercabang” (radial linear-branching pattern). Kota Tokyo dengan membuat
terowongan deep tunnel. Bangkok
berhasil mengatasi banjir dengan program penampungan air sistem “pipi monyet”.
Semua
cerita sukses itu tidak bisa serta merta langsung diadopsi oleh Kerinci dan Sungai
Penuh. Kota-Kota di atas memutuskan kebijakan itu dengan kajian mendalam
terlebih dahulu. Saya menganjurkan Kerinci dan Sungai Penuh juga melakukan
kajian-kajian ilmiah yang komprehensif untuk mengatasi banjir.
PENULIS : Hefri Oktoyoki, S.Hut,
M.Si.
(Menekuni
Keahlian Bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan)
Artikel ini telah tayang di Portaljambi.id dengan Judul Menghilangkan Ego Sektoral dan Upaya Terintegrasi Menjinakkan Banjir Kerinci - Sungai Penuh