MAKASSAR - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Soeharto, Tanri Abeng, menyatakan saat ini satu persen orang terkaya tanah air telah menguasai hingga 50,3 persen dari seluruh kekayaan yang ada di Indonesia.
"Berdasarkan laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia. Artinya bangsa ini menurut saya ada problem dan sudah seharusnya dicarikan solusi," kata Tanre Abeng dalam orasi ilmiah "Politik Ekonomi dan Keuangan Inklusif Badan Usaha Milik Rakyat (BMUR)" di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulsel, Senin.
Ia menjelaskan Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam namun justru yang terlihat tidak demikian dengan kondisi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang semakin terus melebar.
Kesenjangan ini tidak saja tercermin dari perbedaan pendapatan atau kekayaan antargolongan, namun juga antardaerah. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi yakni kesenjangan kapasitas sumber daya manusia yang bersumber antara lain dari kualitas pendidikan antardaerah di Indonesia yang memang belum merata.
Kesenjangan yang terjadi, menurut dia, jelas menggambarkan ketdakadilan dalam negara demokrasi dan kedaulatan rakyat. Maka dari itu dibutuhkan komitmen pemerintah dan negara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
"Mengutip pernyataan Wapres Jusuf Kalla dalam buku 'Badan Usaha Milik Rakyat' yang saya luncurkan hari ini menyebutkan tidak ada keadilan tanpa pengaturan. Tapi siapa yang harus mengatur masalah ini tentu saja tugas negara," katanya.
Politik ekonomi Indonesia sejak orde baru hingga saat ini, kata dia, masih condong lepas kepada mekanisme pasar. Artinya tidak ada kontrol atau keberpihakan yang jelas terhadap pelaku ekonomi golongan lemah.
Hal itu disebabkan perumbuhan ekonomi yang ditopang usaha besar swasta nasional dan asing serta BUMN, seolah-olah telah mengudarakan pertumbuhan ekonomi ibarat pesawat dengan auto pilotnya.
Dirinya mengakui pertumbuhan ekonomi memang tercipta, namun lebih inklusif dinikmati para pelaku ekonomi besar yang sekaligus melahirkan kelas menengah yang menjadi sumber pertumbuhan melalui konsumsiyang terus meningkat.
Berdasarkan data bank dunia pada 2003 menyebutkan jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari polulasi yang ada. Namun pada 2010, kelas menengah di Indonesia justru sudah mencapai 134 juta jiwa atau 56,6 persen.
Namun dari turunnya harga komoditi, justru telah mengakibatkan pertumbuhan konsumsi melemah dan melahirkan triple defisit atau defisit anggaran, defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran.
Oleh karena itu, sambung dia, perkembangan ekonomi, sosial bahkan geopolitik regional mengharuskan adanya perubahan strategi serta ukuran prioritas konsep membangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang inklusif.
Dalam hal ini dibutukan politik ekonomi baru. Sasaran dari transformasi politik ekonomi ini selain ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan, antardaerah dan kapasitas SDM, juga membangun fondas ekonomi yang solid.
Sumber : Okezone.com
"Berdasarkan laporan Bank Dunia disebutkan jika satu persen orang terkaya di negeri ini telah menguasai 50,3 persen kekayaan Indonesia. Artinya bangsa ini menurut saya ada problem dan sudah seharusnya dicarikan solusi," kata Tanre Abeng dalam orasi ilmiah "Politik Ekonomi dan Keuangan Inklusif Badan Usaha Milik Rakyat (BMUR)" di Universitas Hasanuddin Makassar, Sulsel, Senin.
Ia menjelaskan Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam namun justru yang terlihat tidak demikian dengan kondisi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang semakin terus melebar.
Kesenjangan ini tidak saja tercermin dari perbedaan pendapatan atau kekayaan antargolongan, namun juga antardaerah. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi yakni kesenjangan kapasitas sumber daya manusia yang bersumber antara lain dari kualitas pendidikan antardaerah di Indonesia yang memang belum merata.
Kesenjangan yang terjadi, menurut dia, jelas menggambarkan ketdakadilan dalam negara demokrasi dan kedaulatan rakyat. Maka dari itu dibutuhkan komitmen pemerintah dan negara untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
"Mengutip pernyataan Wapres Jusuf Kalla dalam buku 'Badan Usaha Milik Rakyat' yang saya luncurkan hari ini menyebutkan tidak ada keadilan tanpa pengaturan. Tapi siapa yang harus mengatur masalah ini tentu saja tugas negara," katanya.
Politik ekonomi Indonesia sejak orde baru hingga saat ini, kata dia, masih condong lepas kepada mekanisme pasar. Artinya tidak ada kontrol atau keberpihakan yang jelas terhadap pelaku ekonomi golongan lemah.
Hal itu disebabkan perumbuhan ekonomi yang ditopang usaha besar swasta nasional dan asing serta BUMN, seolah-olah telah mengudarakan pertumbuhan ekonomi ibarat pesawat dengan auto pilotnya.
Dirinya mengakui pertumbuhan ekonomi memang tercipta, namun lebih inklusif dinikmati para pelaku ekonomi besar yang sekaligus melahirkan kelas menengah yang menjadi sumber pertumbuhan melalui konsumsiyang terus meningkat.
Berdasarkan data bank dunia pada 2003 menyebutkan jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari polulasi yang ada. Namun pada 2010, kelas menengah di Indonesia justru sudah mencapai 134 juta jiwa atau 56,6 persen.
Namun dari turunnya harga komoditi, justru telah mengakibatkan pertumbuhan konsumsi melemah dan melahirkan triple defisit atau defisit anggaran, defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran.
Oleh karena itu, sambung dia, perkembangan ekonomi, sosial bahkan geopolitik regional mengharuskan adanya perubahan strategi serta ukuran prioritas konsep membangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan keuangan yang inklusif.
Dalam hal ini dibutukan politik ekonomi baru. Sasaran dari transformasi politik ekonomi ini selain ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antargolongan, antardaerah dan kapasitas SDM, juga membangun fondas ekonomi yang solid.
Sumber : Okezone.com